Nasib Buruh Migran Perempuan di Sumbawa

oleh -122 Dilihat

Sumbawa Besar, nuansantb.com-

Fatmawati (bukan nama sebenarnya), sambil menangis bercerita pedihnya menjadi buruh migran perempuan. Saat itu, perempuan berusia 32 tahun ini hanya bisa pasrah, semuanya berjalan begitu saja. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan tidak adil hingga divonis bersalah.

“Saya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, hanya karena dituduh mencuri,” kata Fatmawati kepada nuansantb.com di kediamannya Labuhan Sumbawa, Senin (06/12/2021).

Warga Desa Labuhan Sumbawa, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini berangkat ke Saudi Arabia melalui PT. DSA pada tahun 2009. Ia mengikuti pelatihan di penampungan Jakarta selama tiga bulan. Ia mendapatkan majikan kemudian langsung diberangkatkan ke Timur Tengah. Belakangan diketahui, ternyata penempatannya unprosedural.

“Saya hanya memiliki visa kunjungan. Saat itu saya tidak tahu berapa jenis visa dan tidak curiga sama sekali dengan agen. Apakah perusahaan yang berangkatkan saya legal atau ilegal, saya juga tak tahu,” ujar Fatmawati.

Menurutnya, pada tahun pertama di rumah majikan, semua aktivitas berjalan dengan baik. Namun, memasuki tahun kedua perlakukan kasar dari majikan perempuan mulai tampak. Ia sering dimarahi dengan ragam alasan. Mulai dari ketika ia lupa mengerjakan sesuatu hingga dituduh mencuri perhiasan milik majikan. Tak hanya hinaan, ia juga menerima pukulan.

Dia tidak bisa membela diri karena bukti yang dimanipulasi majikannya, sehingga ia harus mendekam di kantor polisi. Setelah berbulan-bulan menunggu proses persidangan, hakim akhirnya memvonisnya bersalah kemudian menjebloskannya ke penjara.

Fatmawati menjalani hukuman sel bawah tanah selama sepuluh tahun. Pihak pengadilan memberikan keringanan dengan syarat menerima hukuman cambuk sebanyak seratus kali. Setelah itu, ia dibebaskan kemudian dikirim ke kedutaan.

“Jika saya menolak maka hukuman penjara tetap berlanjut sampai batas waktu yang tidak pasti,” ceritanya.

Dirinya tidak memedulikan sakit yang dirasakan. Ia kemudian bergegas mengemas baju yang hanya beberapa potong. Ia bahagia, karena proses selanjutnya bisa menghirup udara bebas. Kemudian petugas mengantarnya menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Fatmawati tidak bisa tidur selama di KBRI karena rasa takut dan trauma. Melihat kondisinya yang lemah, petugas lalu membawanya ke rumah sakit terdekat. Perawat kemudian memberinya obat penenang. Ia terus berdoa agar proses di KBRI segera selesai, sehingga bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman.

“Saya tiba di kampung pada tahun 2019, untungnya sebelum pandemi. Bagaimana proses di KBRI dan lainnya saya sudah lupa,” katanya.

Menurutnya, akibat hukuman cambuk itu, ia rutin berobat ke Jakarta untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter spesialis. Dalam sehari, banyak obat yang harus diminum, namun ia tetap semangat melanjutkan kehidupan bersama keluarga kecilnya. Fatmawati kini bekerja dari rumah membuat kue. Ia memanfaatkan gadget dan produk media sosial untuk berjualan kue.

“Saya berusaha bangkit dan pulihkan trauma. Saya ingin hidup lebih lama lagi dengan bahagia. Semoga saya bisa menjadi perempuan yang berdaya secara ekonomi,” harapnya.

Selain Fatmawati, perlakuan kasar hingga pelecehan seksual juga dialami oleh Hindun (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 22 tahun ini berasal dari Labuhan Sumbawa, NTB. Selama bekerja di Arab Saudi, ia kerap dipukuli majikan dan dipaksa bekerja dari pukul 03.00 pagi hingga 24.00 malam.

Hindun berangkat melalui calo berinisial AH pada tahun 2017. Belum jelas keberadaan perusahaan penyalur buruh migran yang memberangkatkannya. Ia tidak mengetahuinya, bahwa administrasi yang menjadi jaminannya bekerja di luar negeri hanya sebatas visa kunjungan. Ia langsung diserahkan kepada calon majikannya sesampainya di Jakarta. Selanjutnya, ia berangkat menuju Timur Tengah.

Setibanya di rumah majikan, semuanya berjalan baik. Namun, setelah itu hanya karena masalah bahasa, Hindun kerap mendapat perlakuan kasar. Bahkan pelecehan seksual sering dilakukan oleh anak majikannya ketika orang tuanya tidak di rumah.

Perlakuan tersebut terus diterima hingga selama 14 bulan masa kerjanya. Memasuki bulan ke-15, Hindun memilih kabur karena hampir saja menjadi korban pemerkosaan anak majikannya.

“Saya tidak tahan dengan perlakuan anak majikan yang setiap saat melakukan pelecehan. Bahkan nyaris memperkosa saya. Sehingga saya memilih melarikan diri dan berlindung di rumah majikan sesama PMI yang selanjutnya dibantu pulang ke Indonesia,” ujarnya.

Hindun lebih memilih menjadi ibu rumah tangga setelah kejadian itu. Hidup sederhana bersama keluarga kecilnya. Ia ingin berwirausaha, tetapi masih terkendala dengan modal. Sementara hasil bekerja selama di Saudi Arabia hanya bisa untuk membangun rumah tempatnya berteduh.

Begitu juga yang dialami oleh Wahidah, perempuan berusia 25 tahun ini berasal dari Brang Biji, Sumbawa, NTB. Ia pernah menerima pelecehan dari majikannya selama bekerja di Dubai.

Dia berangkat melalui bantuan temannya eks/mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada tahun 2018 menggunakan visa kunjungan. Ia tidak mengetahui keberadaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang telah memberangkatnya itu.

Menurutnya, saat enam bulan pertama semuanya berjalan baik. Namun, memasuki bulan ketujuh, majikan perempuan mulai sering marah dan cemburu. Setiap apa yang dikerjakan selalu salah di matanya. Sementara majikan laki-lakinya memiliki perasaan suka kepadanya. Hal itu membuatnya tidak segan berbuat tidak senonoh.

Ketika istrinya tidak di rumah, majikan laki-lakinya memanfaatkan untuk melakukan pelecehan seksual.

“Saya dipeluk dan dicium. Saya takut dan trauma. Bila tetap bertahan bekerja di tempat tersebut, saya tidak tahu nasib saya akan jadi seperti apa,” ungkapnya.

Wahidah kemudian meminta berhenti dan ingin pulang ke Indonesia, setelah kejadian tersebut. Namun, ia dibujuk dengan iming-iming kenaikan gaji, sehingga ia berusaha bertahan.

“Saya bertahan hanya sampai sepuluh bulan. Saya bekerja dengan perasaan waswas. Tidak berani bila majikan perempuan tidak di rumah. Setelah terus mendesak, akhirnya permintaan saya untuk pulang disetujui tapi barang-barang saya disita,” ujar Wahidah.

Setelah kepulangannya dari Dubai, ia kemudian berjualan nasi kuning di depan rumah orang tuanya. Hasil dari bekerja menjadi buruh migran hanya bisa dijadikan modal usaha . Wahidah masih berharap dapat kembali bekerja ke luar negeri. Namun melalui jalur yang legal dan aman.

Selain Fatmawati, Hindun dan Wahidah. Perlakuan kasar majikan selama bekerja di Arab Saudi juga dialami oleh Nurbaya. Umurnya baru 23 tahun. Ia juga berasal dari Brang Biji Sumbawa.

Nurbaya berangkat melalui sponsor atau calo pada tahun 2017. Namun, PJTKI-nya tidak diketahui. Saat di Imigrasi, ia diminta menjawab dengan lantang jika ditanya petugas. Akhirnya, ia bisa berangkat dengan menggunakan visa kunjungan yang diurus oleh calo tersebut.

Menurut pengakuannya, enam bulan pertama semua berjalan baik. Namun, setelah itu Nurbaya merasa tertekan. Semua pekerjaan rumah harus dikerjakan sendiri. Ia sering dipukul, bahkan disekap di dalam kamar mandi.

Meski terus mendapat perlakuan tidak baik dari majikannya, Nurbaya memilih diam. Ia tetap bertahan hingga masa kontrak kerjanya selama dua tahun habis.

“Saya juga pernah berniat melaporkan perilaku majikan ke KBRI. Namun, karena diancam dibuang serta akan dilaporkan ke polisi sehingga saya menjadi takut dan memilih diam tanpa berbuat apapun sampai masa kerja habis,” katanya.

Kini, Nurbaya tidak ingin lagi menjadi PMI. Ia masih trauma atas apa yang menimpanya. Ia lebih memilih menjadi Ibu rumah tangga membantu suaminya di ladang dan sawah miliknya.

Trik calo dalam merekrut perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri khususnya Timur Tengah melalui jalur unprosedural.

Berbagai cara dilakukan oleh sponsor atau calo agar Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) mau diberangkatkan ke luar negeri. Khususnya Timur Tengah melalui jalur unprosedural. Salah satunya dengan memberikan berbagai kemudahan, mulai dari pengurusan dokumen, iming-iming gaji yang tinggi di negara tujuan, hingga uang saku yang besar.

Seorang calo, sebut saja namanya JN (bukan nama sebenarnya), mengaku banyak menggandeng oknum atau petugas, mulai dari desa hingga negara tujuan PMI sejak 2006 silam.

Menurutnya, selain mencari bekingan, yang biasa dilakukan calo adalah mempelajari keadaan ekonomi calon PMI yang akan dijadikan sasaran. Jika perempuan tersebut memiliki ekonomi lemah, minim pemahaman tentang regulasi terkait pemberangkatan ke luar negeri, putus sekolah hingga ibu rumah tangga yang sedang dalam masalah, maka mereka adalah sasaran tepat. Biasanya perempuan yang demikian, hampir pasti bisa diberangkatkan.

Setelah semua hal tersebut dipastikan, barulah ia mendatangi rumah CPMI, dirayu dengan janji manis dan gaji tinggi. Bila trik tersebut belum juga mempan, barulah diiming-iming dengan uang saku yang besar berkisar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta, bahkan hingga Rp 6 juta. Untuk uang saku Rp 6 juta ini, biasanya bila ada permintaan kriteria khusus perempuan CPMI dari bos atau calon majikan di negara tujuan.

“Biasanya usia yang dicari mulai dari 16 sampai 20 tahun, itu pengalaman saya,” tutur JN, saat diwawancarai di Cafe Boss Sumbawa, Selasa (14/12).

Lebih jauh menurutnya, selain menawarkan gaji tinggi, calo juga akan memberikan kemudahan dalam pembuatan pasport atau visa.

“Ketika membuat dokumen, itu harus melibatkan orang dalam. Seperti bila usianya di bawah umur, Kartu Keluarga (KK) harus diubah untuk dapat menerbitkan Kartu Tanda Pengenal (KTP) dan ini harus menggandeng petugas di kantor desa,” ungkap JN mengisahkan pengalamannya.

Sedangkan, visa yang biasa dibuat untuk para calon PMI adalah visa pelancong atau kunjungan, visa pelajar serta visa umroh.

“Kalau mau jujur, menjadi calo gampang-gampang susah. Gampangnya bila kita punya jaringan mulai dari desa sampai negara tujuan. Selanjutnya, punya modal besar. Sebab untuk masuk dari desa satu ke desa lain membutuhkan modal. Itu pun belum tentu kita langsung mendapatkan calon PMI yang mau berangkat melalui kita. Apalagi bila diketahui berangkatnya melalui cara unprosedural,” cerita JN.

Alasan calo memberangkatkan PMI secara unprosedural karena uang yang didapatnya lumayan besar. Satu kepala bisa sampai belasan juta rupiah.

“Bila menggunakan cara legal melalui Dinas Tenaga Kerja, maka keuntungannya kecil, bahkan tidak ada untuk kita,” ujarnya.

Menanggapi kasus kekerasan yang menimpa PMI di luar negeri dan maraknya pemberangkatan unprosedural.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sumbawa, Dr. Budi Prasetyo, M.Ap. yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (15/12) mengakui pemerintah kesulitan membendung keberangkatan CPMI melalui jalur unprosedural.

Menurutnya, masih banyak masyarakat terutama di desa yang masih minim pemahaman tentang pemberangkatan unprosedural dan banyak juga yang terlibat dalam pemberangkatan PMI.

“Seperti untuk mengurus kelengkapan dokumen pasti diketahui oleh keluarga terdekat, petugas di kantor desa, kemudian ke Dinas Pencatatan Sipil untuk pembuatan kartu keluarga dan KTP,” ungkap Budi.

Oleh sebab itu, pemerintah melalui Disnakertrans akan melakukan sosialisasi yang dimulai dari tingkat desa.

“Titik tekannya kita mulai dari desa,” Kata Budi.

Sementara itu, terjadinya berbagai kekerasan yang dialami oleh PMI di luar negeri khususnya Timur Tengah, menurut Budi rata-rata karena para PMI tersebut tidak terpantau. Sebab keberangkatan mereka melalui jalur unprosedural.

Jika melalui jalur resmi, maka keberadaannya akan mudah dilacak, mulai dari PT mana diberangkatkan, penempatannya di mana, nama majikan, hingga gaji dan lainnya.

Saat ini kata Budi, pemerintah juga sedang mendata setiap PMI yang pulang ke Sumbawa melalui Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Baik yang telah habis kontrak, maupun yang terdeteksi pemulangan karena adanya kasus. Rata-rata per hari, ada tiga sampai delapan orang selama pandemi Covid-19.

“Masalah PMI ini tetap menjadi fokus Pemerintah Kabupaten Sumbawa dan untuk mengurangi pemberangkatan jalur unprosedural. Kami akan menggandeng pemerintah desa, Disdukcapil, BP2MI dan yang utama mantan buruh migran itu sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa Hadiatul Hasanah, S.P. yang diwawancarai, di Cafe GGS Sumbawa, Senin (27/12) mengatakan, sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada pendampingan terhadap perempuan migran dan juga pemberdayaan, pihaknya secara rutin melakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang menimpa perempuan buruh migran di Sumbawa.

Atul, sapaan akrabnya, mendorong kehadiran negara untuk memberikan perlindungan bagi perempuan, agar tidak ada lagi pemberangkatan PMI secara unprosedural.

“Negara harus hadir berikan rasa aman kepada para korban dan edukasi agar tidak ada lagi korban selanjutnya dari pemberangkatan PMI unprosedural,” pintanya.

Atul menyebutkan, sepanjang tahun 2021, SP Sumbawa telah mengadvokasi sebanyak 12 kasus perempuan migran. Dari jumlah tersebut, enam kasus di antaranya sudah diselesaikan. Ia menyebutkan, berbagai kasus yang diadvokasi oleh SP Sumbawa selama ini dominan terkait human trafficking (perdagangan orang).

Selain mengadvokasi kasus, SP juga melakukan pemberdayaan melalui program yang berkelanjutan dengan sasaran para purnamigran.

“Kami juga melakukan advokasi kebijakan dengan mendorong pemerintah daerah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) baru tentang Pekerja Migran Indonesia,” ujarnya.

Sementara untuk program pemberdayaan yang dilakukan oleh SP Sumbawa, saat ini sudah berjalan di empat desa dampingan. Antara lain, di Desa Poto Kecamatan Moyo Hilir, Desa Maronge Kecamatan Maronge, Desa Pelat Kecamatan Unter Iwes dan Desa Tarusa Kecamatan Buer.

“Desa ini diperkuat untuk mendorong perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya yang dimulai dari tingkat desa,” jelasnya.

Contoh pemberdayaan yang dilakukan SP di Desa Poto yaitu berbasis kearifan lokal. Sebagai daerah sentra kain tenun, SP mendorong kemandirian kelompok yang melibatkan purnamigran.

Begitu juga di Desa Tarusa dan Pelat. Sebagai wilayah yang kaya dengan pangan lokal maupun potensi alam atau hasil bumi. SP memfasilitasi para purnamigran untuk bisa mengelolah potensi tersebut sebagai sumber kemandirian ekonomi.

“Kami membantu pemberdayaan dengan mengolah potensi yang ada di desa tersebut. Seperti pengolahan produk dari bahan mentah menjadi produk makanan jadi, yang nantinya dapat dijual melalui kios-kios warga. Maupun super market yang ada di Kota Sumbawa. SP juga akan melebarkan kerja sama dengan menggandeng Loka Latihan Kerja (LLK). Baik kabupaten maupun provinsi,” harap Atul.

Sejauh ini, kata Atul, PMI yang berhasil terbantu dengan keberadaan Solidaritas Perempuan Sumbawa berjumlah 56 orang yang tersebar di beberapa wilayah. Di antaranya Kecamatan Alas, Utan, Sumbawa, Unter Iwes, Maronge, Moyo Hilir, Lopok, Lape, dan Rhee.

Kehadiran Solidaritas Perempuan (SP) bagi para PMI maupun purnamigran Sumbawa sangat dirasakan dampaknya sebagaimana yang dikatakan Elmi Sumenta saat diwawancarai di Cafe Baros Sumbawa, Rabu (29/12).

Perempuan berusia 40 tahun asal Desa Tarusa Kecamatan Buer ini, mengisahkan perjuangan SP dalam membantu memulangkannya dari Timur Tengah hingga mendapat bimbingan sampai bisa mandiri mengelola usaha sendiri di kampung halaman.

“Saat menjadi PMI, hak-hak saya sebagai pekerja banyak yang tertahan. Seperti, gaji beberapa bulan tidak dibayarkan, bekerja tidak sesuai kontrak dan lain-lain. Namun, semua itu terbantu berkat perjuangan SP,” ujarnya.

Semenjak kepulangannya dari Timur Tengah 2007 silam, Elmi kini memilih menata hidup dengan membuka usaha di kampungnya. Ia tidak berkeinginan lagi untuk merengkuh sukses dengan berangkat ke luar negeri sebagai PMI. Keyakinannya untuk berwirausaha, di samping dorongan keluarganya, tidak lepas juga dari kontribusi pemberdayaan dan pembekalan SP, organisasi perempuan yang ia kenal 2001 silam.

“Alhamdulillah sudah tidak ada keinginan berangkat lagi. Saya memilih membuka usaha di kampung,” kata purnamigran yang kini juga aktif menjadi seorang pengajar ini.

Apa yang dirasakan saat ini, semua tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan SP semenjak menjadi PMI hingga menjadi purnamigran. Elmi juga aktif memberikan sosialisasi seputar PMI terutama kepada calon PMI maupun yang telah purna.

“Saya juga turut aktif bersosialisasi seputar PMI dengan harapan para perempuan yang ingin berangkat bekerja ke luar negeri bisa memilih jalur yang legal dan aman,” harapnya. (Sahril Imran)

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.